Silsilah Hadits-Hadits Dha'if Pilihan-7 (Bacaan Setelah
Menguburkan Mayat) [Karya Syaikh al-Albani]
Senin,
26 Maret 07
MUKADDIMAH
Perbuatan yang berkaitan dengan
pembahasan kali ini teramat sering dilakukan orang, bahkan umumnya melakukan hal
seperti ini. Yaitu amalan yang dilakukan ketika jenazah orang yang telah
meninggal dunia usai dikuburkan dan ditimbun, di mana sebagian orang biasanya
dipimpin oleh seorang yang diulamakan tidak lantas pergi tapi duduk di atas
kuburan yang telah ditimbun tersebut
Di antara bacaan yang sering
di-‘diktekan’ adalah bacaan seperti kajian kita ini. Nah bagaimanakah
kualitasnya dari sisi hadits.? Silahkan baca uraiannya.!
Semoga orang
yang masih bersih dan suci nuraninya dapat menimbang secara positif, mana yang
shahih dan tidak shahih? Mana yang diajarkan dalam agama melalui dalil yang
valid dan mana yang tidak?
إذا مات الرجل منكم فدفنتموه فليقم أحدكم عند رأسه،
فليقل، يا فلان بن فلانة! فإنه سيسمع، فليقل، يا فلان بن فلانة! فإنه سيستوي قاعدا،
فليقل، يا فلان بن فلانة! فإنه سيقول، أرشدني، أرشدني، رحمك الله، فليقل، اذكر ما
خرجت عليه من دار الدنيا، شهادة أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا
عبده ورسوله، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، فإن منكرا
ونكيرا يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه ويقول له، ما نصنع عند رجل قد لقن حجته؟ فيكون
الله حجيجهما دونه....
“Bila seorang laki-laki di antara kamu meninggal dunia, lalu
kamu kuburkan ia, maka hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri di dekat
kepalanya, lalu hendaklah ia mengatakan, ‘Hai Fulan bin Fulanah.!’ Sebab ia akan
mendengar. Hendaklah ia mengatakan, ‘Hai Fulan bin Fulanah.!’ Sebab ia akan
duduk lurus. Hendaklah ia mengatakan, ‘Hai Fulan bin Fulanah.!’ Sebab ia akan
mengatakan, ‘Berilah aku petunjuk, berilah aku petunjuk, semoga Allah
merahmatimu.!’ Hendaklah ia mengatakan, ‘Ingatlah ucapan yang kamu bawa keluar
dari dunia; persaksian bahwa tiada tuhan –yang berhak disembah- selain Allah
semata, Yang tiada sekutu bagiNya dan bahwa Muhamad adalah hamba dan utusanNya,
hari Kiamat pasti datang, tiada keraguan padanya dan Allah akan membangkitkan
orang yang berada di dalam kubur. Sebab masing-masing dari Munkar dan Nakir
memegang tangan temannya seraya berkata kepadanya, ‘Apa yang harus kami lakukan
terhadap seorang laki-laki yang telah menalqinkan hujjahnya.? Maka Allah-lah
yang akan memberikan hujjah kepada keduanya untuk membelanya.”
KUALITAS HADITS
Syaikh al-Albani RAH berkata, “MUNKAR
(Bagian dari hadits Dha’if).
Hadits ini dikeluarkan oleh al-Qadhi al-Khal’i
dalam al-Fawa`id (2/55) dari Abu ad-Darda`, Hasyim bin Muhamad
al-Anshari, ‘Utbah bin as-Sakan menceritakan kepada kami, dari Abu Zakaria, dari
Jabir bin Sa’id al-Azdi, ia berkata, “Aku menemui Abu Umamah al-Bahili yang
sedang sekarat, lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Sa’id! Bila aku meninggal
nanti, maka perbuatlah untukku seperti yang diperintahkan Rasulullah saw
bagaimana kita memperlakukan orang-orang mati di kalangan kita, sebab beliau
bersabda, …(lalu ia menyebutkan teks hadits diatas).”
Menurutku (Syaikh
al-Albani-red), Sanad hadits ini Dha’if sekali!!?? Saya tidak mengenal seorang
pun dari perawinya selain ‘Utbah bin as-Sakan. Ad-Daruquthni berkata, ‘Ia orang
yang ditinggalkan haditsnya.’ Al-Baihaqi berkata, ‘Lemah, dinisbatkan kepadanya
suka memalsukan hadits.’
Hadits ini juga dimuat oleh al-Haitsami (3/45)
dari Sa’id bin Abdullah al-Azdi, ia berkata, ‘Aku menyaksikan Abu Umamah …(Teks
hadits), lalu ia berkata, ‘Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Kabir
(al-Mu’jam al-Kabir-red) dan di dalam sanadnya terdapat sekelompok orang yang
tidak aku kenal.’
Menurutku (Syaikh al-Albani-red), Nama perawi dari Abu
Umamah masih diperselisihkan. Di dalam riwayat al-Khal’i, bahwa ia adalah Jabir
bin Sa’id al-Azdi, sedangkan dalam riwayat ath-Thabarani, ia adalah Sa’id bin
Abdullah al-Azdi. Ini, Ibn Abi Hatim memuatnya (2/1/76) seraya berkata, ‘Sa’id
al-Azdi’, tidak menisbatkan kepada ayahnya dan tidak pula menyinggung sisi
Jarh (pencitraan buruk) dan Ta’dil (pencitraan baik). Ia termasuk
kalangan orang-orang yang tidak diketahui identitasnya (Majhulin). Karena itu,
amat aneh ucapan yang dinyatakan al-Hafizh (Ibn Hajar-red) dalam
at-Talkhish (5/243) setelah merujuknya kepada ath-Thabarani, ‘Sanadnya
Shalih (layak), dan telah dikuatkan oleh adh-Dhiya` dalam kitab
Ahkam-nya. Juga dikeluarkan oleh Abdul Aziz dalam asy-Syafi.
Sedangkan perawi dari Abu Umamah adalah Sa’id al-Azdi. Ibn Hatim telah
menulisnya dalam coretannya.!’
Bilamana di dalamnya terdapat perawi yang
anonim seperti ini, maka bagaimana mungkin sanad ini menjadi layak dan kuat.?
Bahkan bersama itu pula terdapat sejumlah periwayat lain yang sama-sama tidak
diketahui identitasnya (majhulin) sebagaimana yang disiratkan dalam ucapan
al-Haitsami di atas. Ini semua, bila tidak ada di dalam sanad ath-Thabarani itu
Utbah bin as-Sakan yang tertuduh. Jika tidak, maka dari asalnya, semua sanadnya
itu sudah gugur.! Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Majmu’ (5/304)
setelah dirujuk oleh ath-Thabarani, ‘Dan sanadnya Dha’if. Ibn ash-Shalah
berkata, ‘Sanadnya tidak dapat tegak (dijadikan hujjah).’
Demikian pula,
dilemahkan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’ (4/420). Ibn
al-Qayyim berkata dalam Zad al-Ma’ad (1/206), ‘Tidak shahih bila dinilai
Marfu’.’
Ketahuilah, tidak ada riwayat pendukung untuk hadits ini. Semua
apa yang dikatakan sebagian ulama hanya berupa Atsar Mauquf (hadits yang
diriwayatkan sebatas para Tabi’in-red) yang diriwayatkan dari kalangan Tabi’in
kawasan Syam, yang tidak layak untuk dijadikan pendukung sehingga dapat menjadi
Marfu’ bahkan ia tambah menjadikan riwayat itu cacat! Turun dari
Marfu’ kepada Mauquf. Dalam ucapan Ibn al-Qayyim tadi, terdapat
isyarat terhadap apa yang kami sebutkan setelah dilakukan perenungan. Yakni, ia
menjadi Syahid Qashir (pendukung yang terbatas), sebab intinya berupa,
‘Mereka dulu menganjurkan agar diucapkan kepada mayyit ketika dikuburkan, ‘Hai
Fulan, katakanlah ‘La Ilaha Illallah, katakanlah ‘Asyhadu An La Ilaha Illallah,
sebanyak tiga kali. Katakanlah, Rabbku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan
Nabiku adalah Muhammad.’
Kalau begitu, mana yang dapat dijadikan
pendukung terhadap sisa kalimat yang tersebut dalam redaksi hadits di atas,
seperti ‘Ibn Fulanah’ ‘Berilah aku petunjuk’, dst.’ Juga perkataan kedua
malaikat, ‘Apa yang dapat kita lakukan di sisi laki-laki…?’
Ringkasnya,
hadits ini adalah Hadits MUNKAR menurutku, jika bukan MAUDHU’ (PALSU).
Ash-Shan’ani dalam Subulussalam (II:161) mengatakan, ‘Dari perkataan
ulama tahqiq didapatkan bahwa ia adalah hadits DHA’IF, mengamalkannya adalah
Bid’ah. Dan janganlah tergiur dengan banyaknya orang yang melakukannya.!!’
Hal ini tidak pula berarti menolak ucapan yang masyhur di kalangan ulama
mengenai pengamalan terhadap hadits dha’if dalam Fadha`il al-A’mal
(amalan-amalan ekstra) sebab ini diposisikan pada amalan yang
pensyari’atannya memang valid berdasarkan al-Qur’an atau as-Sunnah yang shahih.
Sedangkan yang bukan kategori demikian, maka tidak boleh mengamalkan hadits
dha’if, sebab itu artinya melakukan tasyri’ (pensyari’atan) dan hal ini tidak
boleh dengan hadits dha’if, sebab ia tidak menginformasikan selain dugaan minus
menurut kesepakatan para ulama. Nah, bagaimana boleh mengamalkan sepertinya.?
Maka, kiranya orang yang menginginkan agamanya selamat dapat memperhatikan hal
ini sebab banyak orang yang lalai darinya. Kita memohon kepada Allah hidayah dan
taufiqNya.”
(SUMBER: Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah Wa
al-Maudhu’ah karya Syaikh al-Albani, II:64-65, No Hadits, 599)