“Eksistensi Islam di Era Globalisasi”
a. Pra-wacana
Globalisasi yang melanda dunia tidak hanya pada satu bidang saja, tetapi
terdapat pada berbagai bidang. Seperti politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama.
Globalisasi yang terjadi di berbagai bidang tentu saja akan memberi pengaruh dan
membawa perubahan bagi dunia di masa yang akan datang.
Dalam era globalisasi saat ini, tentu akan terdapat perbedaan-perbedaan
dalam peradaban. Perbedaan tersebut kadangkala dapat memicu terjadinya
pertarungan. Namun, ada kalanya pertarungan peradaban tidak perlu dilakukan.
Terlebih jika peradaban yang ada dapat hidup berdampingan, terjadinya dialog,
dan saling memberi. Tetapi, tetap saja, kita sebagai umat muslim tidak boleh
melupakan agenda besar dibalik globalisasi.
Pertarungan yang terjadi dapat berupa pertarunga ideology, dan perebutan
pengaruh antara antara Islam dan Globalisasi. Globalisasi direpresentasikan
melalui perdaban Barat dengan spirit modernitasnya, yang dalam banyak wilayah
tidak sejalan dengan prinsip Islam. Sehingga dalam banyak perjalanan globalisasi,
Islam kerap berbenturan dan atau bersilang pendapat dengan Barat. Dalam keadaan
seperti ini Islam harus mampu menemukan jati dirinya ditengah menguatnya arus
globalisasi yang mengancam kepunahan agama, tentunya agar Islam mampu
bertahan hingga akhir zaman.
b. Benturan Islam dengan Barat
Benturan Islam dan Barat (globalisasi) merupakan isu yang selalu hangat
diperbincangkan. Dengan latar belakang budaya dan ideologi yang khas di antara
keduanya. Dan disinalah akan dikupas secara mendalam apakah keduanya bisa
berjalan secara harmonis, bagaimana globalisasi dengan segala kekuatannya dan
Islam yang memiliki setting dan alasan tersendiri yang berbeda keberadaannya.
Hal ini disebabkan karena sementara agama bertumpu pada apa yang disebut
Rodulf Otto the Holy atau the sacred dan bersifat holistik, sedangkan globalisasi
dengan segala prangkatnya yang bertumpu pada pandangan dunia sekuler yang
justru menyisihkan segala bentuk sakralitas.
Islam adalah kekuatan dinamis masyarakat muslim yang mengendalikan
segala aspek kehidupan, mulai dari cara berpakaian, pergaulan, budaya, politik,
EKSISTENSI ISLAM DI ERA GLOBALISASI
Latar belakang masala
“Tidak ada manusia yang stagnan” demikian isyarat yang ditampakkan oleh
sosiolog Auguste Comte, Talcott Parsons, juga Charles Darwin. Ketiganya
mengisyaratkan terjadinya pergerakan yang dialami manusia yang membawa pada
sebuah perubahan sosial. Bagi Parsons perubahan sosial tersebut merupakan
“gerak dasar’ bagi setiap manusia (masyarakat), dan merupakan seleksi alam bagi
Darwin, dan arus perubahan ini akan terus berjalan karena merupakan hukum
evolusi sosial-yang tidak dapat dihentikan-sebagaimana diteorikan oleh Comte.
Rumusan Masalah
Seturut perputaran waktu, spektrum perubahan yang terdapat di masyarakat
semakin dinamis. namun yang mesti diwaspadai, laju perubahan tidak selalu
mengarah pada perubahan yang positive, namun cenderung negative. Hal ini
dipengaruhi oleh banyak factor, seperti factor geografis, politik, ekonomi, agama,
dan perkembangan zaman yang membayangi kehidupan sosial manusia.
Pembatasan Masalah
Hari ini kehidupan manusia telah sampai pada sebuah era yang menghendaki
hilangnya batasan-batasan diantara manusia. Sebuah zaman yang kita kenal
sebagai era Globalisasi. Globalisasi menjadi klimaks (bukan antiklimaks, karena
mungkin akan ada fase selanjutnya) dari fase perkembangan peradaban manusia.
Sebuah era yang ditandai oleh banyak penemuan-penemuan baru diberbagai
bidang, dan telah dianggap membawa manusia ke perubahan peradaban yang
begitu fantastic. Globalisasi membawa visi membangun kehidupan yang modern, yang akan
memberikan kemudahan dalam kelangsungan hidup manusia. Secara praktis,
manusia dibikin mudah oleh temuan modernitas; menciptakan kemungkinan bagi
perbaikan taraf hidup manusia, mengangkat penderitaan fisik, dan meringankan
beban berat manusia. Era ini (Globalisasi) telah menghilangkan sekat pemisah bagi
manusia disegala penjuru dunia, dimana setiap individu dapat mengakses secara
mudah perkembagan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat dari
hari ke hari.
Arus Globalisasi disertai juga oleh perubahan sosial yang begitu compleks.
Komplekstias perubahan tersebut meliputi (hampir) seluruh dimensi kehidupan
manusia. Tidak hanya pada dimensi ekonomi-politik (yang merupakan pintu
masuk Globalisasi) tapi juga menyerang sisi kebudayaan suatu Negara tak
terkecuali juga sisi keagamaan (religiousitas) masyarakat kita. Perubahan social
yang begitu “dramatis” telah melanda kehidupan beragama kita dan merupakan
persoalan baru dan tantangan tersendiri bagi sebuah Agama yang masih eksis di
tengah-tengah kehidupan yang modern nan global.
Salah satu persoalan krusial sebagai dampak proses gloobalisasi yang terkait
dengan kehidupan keagamaan adalah semakin menipisnya ruang “religousitas”
dalam kehidupan manusia. Temuan-temuan empiric dan perkembangan
pengetahuan menghadapkan kepada manusia (beragama) sebuah realitas akan
kekuasaan manusia di muka semesta ini. Hal-hal yang seblumnya dianggap sebagai
“misteri Tuhan” satu persatu, telah jatuh ke tangan manusia melalui eksperimentasi
yang mereka lakukan. Maka tak ayal agama pun semakin kehilangan daya
signifikansi dan perannya di tengah kehidupan manusia. Dan masih ada banyak
permasalahan lagi yang timbul karena dampak proses Globalisasi. Hanya sekedar
menyebutkan; ada permasalahan “dehumanisasi’ dalam bidang social, terbukanya
pola “pasar bebas” dalam bidang ekonomi, tersebarnya praktik “demokrasi liberal”
dalam bidang politik, dan ancaman lunturnya “kearifan local” dalam bidang
kebudayaan. Tapi makalah ini tidak akan mengeksplor semua permasalahan-
permasalahan tersebut, tapi akan lebih terkonsentrasi pada persoalan keagamaan.
Tantangan keagamaan dewasa ini, terutama banyak mengarah kepada agama
Islam yang merupakan agama dengan jumlah penganut terbanyak di dunia. Juga
karena adanya persilangan Idology dan Paradigma dalam mmelihat muatan-muatan
globalisasi yang saat ini tengah didominasi oleh peradaban Barat. Perselisihan antara Islam dengan Barat juga menjadi bagian yang telah memberikan warna
tersendiri dalam era globalisasi.
Substansi penulisan makalah ini akan banyak berbicara seputar islam dan
globalisasi. Dalam bab pembahasan, akan dibahas seputar definisi globalisasi
secara umum, dan secara khusus akan dilihat dari perspektif Islam. Juga tentang
benturan-benturan Islam dengan Barat (sebagai peradaban yang lebih dominan),
dan penulis mencoba melihat posisi (reposisi) Islam, karena ini akan sangat
berkaitan dengan eksistensi Islam di era Globalisasi.
keilmuan dan seterusnya. Kekuatan dinamis itu akan terus ada sekaligus menjadi
ciri khas bagi mereka. Namun, beberapa persoalan penting juga muncul bersamaan
dengan perkembangan situasii dan zaman. Sebagaimana pada era globalisasi ini,
dimana muncul ketegangan baru antara Islam dengan Barat. Keduanya seolah
berhadapan sebagai lawan yang saling menghancurkan. Apakah demikian? Nah,
disinilah kita dituntut untuk mengetahui apakah diantara keduanya bisa berjalan
sejajar atau setidaknya Islam dapat mengimbangi posisinya dalam arus keganasan
globalisasi yang terjadi saat ini.
Sebagai umat islam secara terang-terangan menunjukkan ketakutan dan
kekhawatiran dalam merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah
dunia islam, baik di bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari Timur
maupun Barat. Dari kekhawatiran tersebut, mereka kemudian cendrung bersifat
resisten demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat islam dari
pengaruh politik negatif berbagai pemikiran dan aliran baru. Bahkan sampai
tingkat tertentu, mereka berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang
atau konspirasi terencana untuk menghancurkan islam dan identitas kaum
muslimin.
Sementara pada saat yang sama, kita melihat sebagian umat islam yang lain
cendrung menerima apa yang datang dari Timur maupun dari Barat
tanpa reserve. Mereka mengelu-elukan hal itu dan mengecam orang-orang yang
menolaknya sebagai kelompok yang bodoh, konservatif, dan terbelakang. Menurut
pandangan mereka, segala sesuatu yang datang dari negara-negara maju
merupakan faktor yang menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangan.
Namun untuk memposisikan Islam dalam tantangan arus global tersebut
sejatinya umat islam tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon.
Sebagaimana tercermin dari dua kelompok umat islam di atas, yang
kecendrungannya menerima dan menolak secara mutlak setiap pemikiran dan
aliran yang timbul di Timur dan di Barat.
Memang umat islam dituntut untuk bersikap, tapi dengan kewaspadaan yang
kuat, dalam artian tidak sertamerta menutup setiap yang dibawa oleh aliran-aliran
yang datang dari Timur dan barat, serta tidak membuka pintu lebar-lebar terhadap
kemajuan yang dibawa oleh arus globalisasi tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam memandang persoalan tersebut, umat islam harus lebih kritis dengan
menelaah setiap persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah
tergesa-gesa mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disetai kesadaran yang utuh. Oleh karena itu Mahmud Hamdi Zaqzuq memberikan catatan
penting yang harus digaris-bawahi dengan tegas.Pertama, bahwa islam sebagai
agama – bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporal belaka –
seharusnya tidakperlu mencemaskan aliran-aliran pemikiran baru dari luar, kareana
ia memiliki basis sejarah yang kokoh dan landasan kuat, yang tidak dimiliki oleh
aliran-aliran baru yang bermunculan. Kedua, harus disadari bahwa globalisasi
merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin ditolak. pada mulanya, ia merambah
lewat jalur ekonomi, kemudian melebar ke jalur politik dan budaya, sehingga
akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah fenomena tak terpungkiri yang
muncul di hadapan kita. Ketiga, kita tak bisa terus berpura-pura tidak tahu bahwa
kita hidup bersama komunitas-komunitas lain di dunia. Saat ini kita telah berada di
era revolusi komunikasi dan informasi, revolusi, tekhnologi serta era penuh
keterbukaan yang tak mungkin menyediakan peluang untuk mengisolasi diri kita.
Globalisasi merupakan fenomena yang tak terbantahkan kedatangannya. Jika
umat islam menutup diri dan acuh tak acuh sama halnya dengan mengggali
kuburan untuk kematiannya sendiri, sedangkan membuka diri tanpa adanya
filterisasi terhadap kedatangannya sama halnya menjelma manusia robot yang
dikontrol dan dikendalikan oleh kekuatan tekhnologi. Untuk tidak terjebak pada
keduanya, umat islam harus bersikap kritis terhadap perkembangan yang dibawa
oleh globalisasi.
Sejak zaman dahulu, umat islam telah mengambil hikmah dari peradaban-
peradaban lain, ketika mereka membangun tatanan peradabannya. Dalam konteks
ini, seorang filosof muslim terkemuka, Ibn Rusyd, mengatakan bahwa syariat telah
mengajarkan kita agar mebaca literatur-literatur klasik. Dan secara otomatis ajaran
ini tentu mengandung anjurkan kita untuk membaca literatur baru di kemudian
hari. Ibn Rusyd juga meneguhkan dengan untkapannya, “kita perlu menelaah apa
yang diucapkan oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam literatur-literatur
mereka. Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima dengan
senang hati. Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita harus
berhati-hati dan menghindarinya.”
Dengan begitu secara otomatis Ibn Rusyd mengiinkan umat islam untuk
mengkritisi segala yang ditimbulkan oleh globalisasi, termasuk kebudayaan-
kebudayaan lain. Tentu dengan memfungsikan akal dan fikiran, sehingga dengan
masuknya kebudayaan modern kita tidak gagap, kita bisa mengapresiasi dengan
baik. Sebab Islam sebagai agama yang diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, tidak mungkin rasanya menolak secara membabi-buta suatu
kebudayaan yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Dengan penyikapan
yang kritis ini, kita dalam satu sisi kita tetap bisa menjaga identitas kebudayaan
sendiri, dan di sisi lain kita tidak terpinggirkan dari perkembangan zaman dan
kebudayaan yang hidup di dalamnya.
c. Menjaga eksistensi; posisi dan sikap Islam terhadap Globalisasi
Banyak kalangan bingung memahami Islam dan Muslim. Pemimpin kaum
Muslim mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan adil; namun Osama Bin
Laden dan teroris Muslim lainnya secara global membantai non-Muslim maupun
Muslim. Presiden Goerge W Bush menyebut Islam sebagai agama damai; penginjil
Franklin Graham memandang Islam sebagai agama setan. Samuel Huntington,
profesor ternama dari Harvad dan penulis The Clash of Civilizations menulis
“Islam berlumur darah di luar dan dalam”. Tetapi sebagaimana dikemukakan
presiden Barrack Obama “Islam telah menunjukkan lewat kata-kata dan perbuatan
tentang peluang toleransi beragama dan kemitraan ras”.
Satu paragrap diatas menunjukkan realitas multi wajah Islam dan Muslim
dewasa ini. Di sisi lain, makna implisit yang terkandung dalam satu paragrap diatas
diatas adalah bahwasanya kehidupan beragama kita (Islam) tengah berada di
bawah bayang-bayang globalisasi. Ketergantungan hidup terhadap globalisasi,
pada gilirannya akan berpengaruh terhadap “cara pandang” (paradigma) beragama
kita. Lalu muncul pertanyaan, sejauh mana Islam dengan ajaran-ajaran agamanya
mampu bertahan di tengah kehidupan global yang modern? Di tengah kuatnya arus
skularisasi?
Bila merujuk pada anasir-anasir para sosiolog bahwasanya agama akan sulit
untuk bertahan di abad dua puluh satu, cukup membuat risau masyarakat
beragama. Lihat saja penggalan kalimat terkenal “agama adalah candu” yang
dianggap menjadi saripati konsepsi Marxis tentang gejala keagamaan. Ungkapan
yang sama dapat kita temukan dalam tulisan-tulisan Kant, Herder, Feuerbach,
Bruno Bauer, juga Hencrich Heine.
Meski demikian, sampai hari ini; hari dimana kita hidup di abad dua puluh
satu, menunjukkan bahwa keberadaan agama-agama khususnya Islam masih
menampakkan eksistensinya. Tidak berniat menisbikan ramalan sosiolog diatas,
tapi fakta statistikal membeberkan bahwa Islam adalah agama dengan penganut
terbesar di dunia hari ini. Dan porsi terbesar dari 1,5 miliyar warga muslim dunia bukanlah bangsa Arab, melainkan Asia atau Afrika. Fakta ini menunjukkan bahwa
telah terjadi imgirasi besar-besaran umat Islam bahkan hingga Eropa dan Amerika.
Dalam kondisi yang demikian, untuk menjaga eksistensinya di era
globalisasi Islam harus mampu menemukan posisi yang strategis dan memberikan
sikap yang tegas terhadap banjir bandang globalisasi. Sikap yang bisa diambil oleh
Islam dalam memandang globalisasi adalah mendukung, menolak, atau kompromi.
Sikap mendukung mesti diambil Islam bila Globalisasi yang dalam banyak
tafsir lebih dilihat membawa dampak negativ, bila dalam perjalanannya juga
mengusung semangat perdamaian, toleransi beragama, keadilan, dan sebagainya.
Tidak ada alasan bagi Islam untuk menolak spirit-spirit kehidupan yang demikian
karena secara postulat keagamaan, Islam juga mengajarkan hal demikian. Sikap
menolak Islam akan terjadi bila globalisasi memberikan dampak “tidak sehat” atas
kehidupan manusia; mengusung semanagat skularisasi misalnya, dimana hal ini
jelas bertentangan dengan Islam. Yang terakhir adalah sikap kompromi, jalan
alternatif ini bisa diambil Islam bila tidak mengambil dua pilihan diatas. Sikap
kompromi muncul karena keagamaan dann peradaban manausia berinteraksi
dengan begitu intens dan kontinou dalam dunia global, sehingga Islam tidak bisa
menutup mata dari kehadiran-kehadiran pengaruh kekuatan luar. Sikap kompromi
bukan berarti tunduk terhadap pengaruh globalisasi sehingga Islam sekiranya perlu
untuk mengambil posisi sebagai Counter Hegemoni kekuatan globalisasi.
Globalisasi mampu bermetamorfosis lebih cepat dan memiliki kekuatan yang lebih
tinggi, sehingga melawan globalisasi (bila pun harus dilawan) tidak bisa dengan
pola konfrontasi total, karena pada akhirnya Islam akan terbawa dalam permainan
globalisasi. Islam harus memiliki opsi cerdas untuk menyelamatkan
eksistensinya.
Kesimpulan
Di abad dua puluh satu ini, kehidupan manusia seakan tidak berjarak dan
terus menerus melakukan interaksi yang intensif secara global. Fakta ini
mengantarkan manusia dalam meraih sederet perubahan sosial yang banyak
dipengaruhi oleh proses globalisasi. Di banyak bidang termasuk agama, pengaruh
globalisasi begitu kental.
Ada pengaruh yang baik dan juga pengaruh yang kurang baik, dan dalam
keadaan ambiguitas yang demikian kehadiran agama dengan spirit keagamaan dan
dengan mengusung norma-norma serta nilai-nilai agama begitu dibutuhkan denagn
maksud agar kehidupan sosial manusia dapat bertahan dalam koridor-koridor yang
telah di gariskan Tuhan melalui firmannya dalam kitab suci agama-agama.
Islam adalah salah satu agama yang masih eksis dan begitu besar penganut
dan pengaruhnya dalam kehidupan global dewasa ini. Islam harus mampu
mencipatakan “Islamisasi Peradaban”, dengan meraih kemajuan di bidnag ilmu
pengetahuan. Dan tidak meciptakan “Islamofobia” yang hadir dengan wajah
fundamentalis nan ektrem yang justru akan memojokkan posisi Islam di era ini.
Dengan begitu, keyakinan akan eksistensi Islam sebagai agama hingga akhir
zaman meski dalam fase hidup yang telah memasuki era yang mutakhir, akan terus
tertanam dalam benak masyarakat dunia Muslim.
Daftar Pustaka
Sumber Informasi Wikipedia : Penyusun