Berhujjah Dengan Hadits Dla'if
Senin, 12 April 04
Salah satu fenomena yang marak dilakukan adalah pengamalan
hadits Dla’if secara serampangan tanpa pilah dan pilih terlebih dahulu, padahal
implikasinya amat berbahaya sekali.
Oleh karena itu, perlu kiranya
diketahui kapan berhujjah dan mengamalkan hadits Dla’if itu dibenarkan dan apa
pula persyaratannya?.
Untuk itu, disini kita akan membahas sedikit
tentang hukum berhujjah dengannya dan persyaratannya.
Berhujjah
dengan hadits Dla’if dan mengamalkannya perlu ada perinciannya:
- Pengamalannya di dalam masalah-masalah ‘aqidah tidak boleh secara ijma’.
- Pengamalannya di dalam masalah-masalah hukum (al-Ahkâm) tidak diperbolehkan
juga menurut mayoritas Ulama.
- Sedangkan pengamalannya di dalam Fadlâ`il al-A’mâl (amalan-amalan yang
memiliki keutamaan), Tafsir, al-Maghâziy (berita-berita seputar
peperangan-peperangan) dan Sirah, mayoritas para ulama membolehkannya dengan
syarat-syarat sebagai berikut:
- Hadits yang dijadikan hujjah/diamalkan
tersebut tidak Dla’if (Lemah) sekali.
- Permasalahan yang dibicarakan di
dalam hadits yang Dla’if tersebut masih berada di dalam kawasan prinsip dasar
umum. Alias bukan terpisah dan sudah menjadi cabang tersendiri.
- Ketika
mengamalkan hadits Dla’if tersebut, tidak meyakini kevalidannya (bahwa ia adalah
hadits yang shahih) bahkan harus meyakininya sebagai sikap preventif.
Imam an-Nawawy telah menukil ijma’ para ulama mengenai hukum
mengamalkan hadits Dla’if dalam masalah Fadlâ`il al-A’mâl padahal sebenarnya ada
banyak ulama terkenal yang tidak sependapat dengan hal itu, diantaranya Abu
Hâtim, Abu Zur’ah, Ibn al-‘Araby, asy-Syawkany dan ulama kontemporer, Syaikh
al-Albany. Demikian pula pendapat yang tersirat dari ucapan Syaikhul Islam, Ibn
Taimiyah dan Ibn al-Qayyim serta petunjuk yang didapat di dalam dua kitab
Shahih; Shahîh al-Bukhary dan Shahîh Muslim.
Maka berdasarkan hal ini,
hadits Dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak dalam bab apapun di dalam dien
ini, dan ketika diucapkan/dibicarakan semata hal itu untuk sekedar pendekatan
(bersifat preventif).
Ibn al-Qayyim mengisyaratkan dimungkinkannya untuk
menggunakan Hadits Dla’if tersebut ketika dalam kondisi akan menguatkan dua
diantara ucapan yang seimbang. Namun pendapat yang tepat adalah bahwa hadits
Dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak selama dugaan terhadap validitasnya
masih lemah dan selama ia tidak mencapai derajat Hasan Li Ghairihi (Menjadi
Hasan karena ada penguat/pendukungnya dari sisi sanad dan matan yang lain).
(Disarikan dari Jawaban Syaikh DR.’Abdul Karim bin ‘Abdullah
al-Khudlair [Dosen pada Fakultas Ushuluddin di Jâmi’ah al-Imam Muhammad bin
Su’ûd], Majallah ‘ad-Da’wah’, Vol.1890, Tgl. 29-02-1424 H ).
CATATAN:
Ada ulama yang menambahkan satu syarat lagi,
yaitu, ketika berhujjah dengan hadits Dla’if dan menyampaikannya di dalam suatu
majlis, maka harus disebutkan ke-dla’if-an haditst tersebut. Wallahu a’lam.