Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )
Senin, 12 April 04
Mukaddimah
Pembahasan seputar Khabar al-Wâhid
atau Hadîts Ahâd sudah menjadi polemik sepanjang masa. Selama para pengikut
masing-masing pihak yang berpolemik masih ada, maka selama itu pula perdebatan
seputar hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai batas yang dikehendaki oleh
Allah.
Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah
sejauh mana keberpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah melalui
argumentasi-argumentasi yang kuat, valid dan meyakinkan.
Ada golongan
yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa Hadits Ahâd bukan hujjah bagi
'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan Qath'iy ats-Tsubût
(keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut tidak dapat
memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin).
Benarkah
statement-statement yang mereka lemparkan?, berikut ulasan mengenai masalah yang
amat prinsipil dan urgen tersebut.
Semoga bermanfa'at bagi kita semua.
A. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )
Definisi
Hadits Ahad adalah hadits yang periwayatannya
tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu
kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap
jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada
setiap jenjangnya disebut dengan Hadits 'Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang
diriwayatkan oleh jama'ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir
disebut Hadits Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada
syarat-syarat mutawatir.
Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli hadits)
dan Jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat
keshahihan dan diterimanya hadits itu. (dari Buletin an-Nur, tahun VI, No.
247/Jum'at I/Jumadal ula 1421 H)
Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat seputar
masalah: Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang
pasti (bersifat keilmuan dan yaqin)?
I. Pendapat Pertama:
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI
(BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.
Ini adalah pendapat
yang dinisbahkan (dilekatkan) kepada Imam as-Sunnah, Imam Ahmad dan Madzhab Ahl
azh-Zhâhir (Zhâiyyah), namun penisbahan ini TIDAK BENAR SAMA SEKALI.
IMAM
AHMAD dikenal sebagai Ahli al-Jarh wa at-Ta'dîl (ulama kritikus Hadits) dan
tidak dapat dihitung berapa banyak bantahan beliau terhadap hadits-hadits yang
diriwayatkan para periwayat kategori LEMAH. Dan ini cukup sebagai bantahan
terhadap apa yang dituduhkan kepada diri beliau tersebut.
Sedangkan Ibn
Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan berfungsinya Khabar
al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sebagai pemberi informasi ilmu (hal yang yaqin dan
pasti) dengan 'adâlah (keadilan) sang perawi hadits.
BANTAHAN
TERHADAP PENDAPAT PERTAMA INI
Pendapat tersebut jelas-jelas TIDAK
BENAR DAN TIDAK MASUK AKAL, sebab bagaimana mungkin kita bisa membayangkan ada
orang berakal yang membenarkan semua berita yang didengarnya, padahal kita tahu
bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi berbohong dan suka lalai.
II. Pendapat Kedua
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd TIDAK
DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA
MUTLAK/TOTAL.
Ini adalah pendapat sebagian Ahli Kalam (Mutakallimin) dan
Ulama Ushul Fiqih (Ushuliyyun) sekalipun sebagian dari ulama Ushul ini seperti
al-Juwainiy dan Abu Manshur al-Baghdadiy telah menyebutkan di dalam sebagian
kitab mereka pendapat yang justeru sepakat dengan PENDAPAT KETIGA nanti.
Demikian juga, penisbahan pendapat ini kepada mayoritas Ahli Fiqih dan Ahli
Hadits perlu dikritisi dan diberikan catatan terlebih dahulu.
SYUBHAT
MEREKA
Mereka berkata, "Sesungguhnya kami di dalam menerima Khabar
al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sekalipun tingkat 'adalah nya mencapai puncaknya,
tidak mendapatkan pada diri kami selain persentase dominan bagi kebenarannya
atas kebohongannya namun tanpa dapat memastikan.
JAWABAN TERHADAP
PENDAPAT TERSEBUT
Kalau argumentasi anda demikian, maka kami juga
akan katakan bahwa terhadap Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, justeru
kami mendapatkan pada diri kami informasi ilmu dan kepastian tentangnya, bukan
seperti yang anda katakan bahwa antara yang satu dengan yang lain tidak ada yang
lebih unggul. Manakala anda tidak mendapatkan informasi pasti (yang bersifat
keilmuan dan yaqin) pada diri anda, maka itu urusan pribadi anda, tidak boleh
digeneralisir sebab ia hanyalah pemberitaan terhadap apa yang ada di dalam diri
anda sendiri. Hal ini dikarenakan, anda tidak memiliki jalur-jalur yang dapat
menginformasikan ilmu kepada anda sebagaimana yang didapat oleh Ahlussunnah dan
al-Hadits, yang memang melakoninya dan menghabiskan usia mereka untuk
mendapatkan dan mencarinya.
Karena itu, kami katakan kepada orang yang
menolak Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, "Alihkan perhatian anda
kepada hadits, antusiaslah untuk itu, kumpulkan, telusuri jalur-jalurnya, kenali
kondisi para periwayat dan biografi mereka, jadikan hal itu sebagai tumpuan
tuntutan dan akhir tujuan anda. Bila hal ini anda lakukan, maka ketika itu anda
akan mengetahui: "Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut memberikan
informasi ilmu kepada anda atau tidak?." Sedangkan bila anda ogah-ogahan
terhadapnya dan di dalam mencarinya, maka sudah tentu ia tidak akan memberikan
informasi ilmu kepada anda.
Nah, andaikata anda tetap juga mengatakan bahwa
ia tidak memberikan informasi ilmu kepada anda karena menduga-duga; maka itu
artinya, anda telah menginformasikan berita yang terkait dengan bagian dan jatah
anda sendiri dari hal itu (yang tidak anda ketahui sehingga tidak perlu
melibatkan orang lain).
III. Pendapat Ketiga
Khabar
al-Wâhid atau Hadîts Ahâd MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN
YAQIN) SECARA BERSYARAT
Inilah pendapat YANG SHAHIH.
Yang
dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan Qarâ`in
(dalil-dalil penguat), sementara Qarînah (bentuk tunggal dari Qarâ`in) bisa jadi
terkait dengan khabar itu sendiri; bisa jadi terkait dengan Mukhbir (pembawa
berita) dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya. Termasuk dalam hal ini,
Khabar Mustafîdl (berita yang demikian banyak, tak terhingga; baca: belecekan)
yang pada awalnya hanya diriwayatkan oleh seorang, lalu menjadi banyak dan
masyhur dan Khabar yang sudah mendapatkan penerimaan dari umat (al-Khabar
al-Mutalaqqa 'Indal Ummah bi al-Qabûl), atau oleh sebagian ulama terkait di
bidangnya yang diantaranya ada diriwayatkan oleh asy-Syaikhân (Imam Bukhariy dan
Muslim) atau salah seorang dari keduanya, diantaranya juga ada yang merupakan
hadits Musalsal (bermata rantai) dengan para Imam yang Hâfizh seperti Imam Malik
dari Nafi' dari Ibn 'Umar. Khabar ini dan sejenisnya jelas memberikan informasi
ilmu menurut JUMHUR Ahli Hadits, Ahli Ushul, mayoritas Ahli Kalam, semua Ulama
Salaf dan para Ahli Fiqih umat. Dalam masalah ini, antara ulama Salaf tidak
terdapat perselisihan pendapat.
ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT
KETIGA
Alhamdulillah, dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi
pendapat ketiga ini banyak sekali, diantaranya:
- Membeda-bedakan antara Khabar al-Wâhid (Hadîts Ahâd) dan Hadits Mutawatir di
dalam menginformasikan ilmu merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat,
tidak didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, tidak pernah
dikenal oleh para shahabat ataupun para Tabi'in.
Realitasnya, informasi yang
disampaikan langsung oleh Rasulullah dibenarkan oleh kaum Mukminin (para
shahabat) tanpa mereka perlu mendapatkannya melalui pembawa-pembawa berita yang
mutawatir (dalam jumlah banyak). Demikian pula sebaliknya, Rasulullah sendiri
membenarkan berita/informasi yang disampaikan oleh para shahabat beliau. Para
shahabat, satu sama lainnya juga saling membenarkan, demikian pula dengan para
Tabi'in, mereka membenarkan berita yang dibawa oleh para shahabat dan
sejawat-sejawat mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata terhadap
orang yang memberikan informasi kepada mereka, "Khabar yang kamu bawa adalah
Khabar Ahâd, tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan
yaqin)… sehingga kemudian ia bisa menjadi Mutawatir.
Masalah adanya
diantara mereka, orang yang abstain (tawaqquf) terhadap suatu informasi hingga
mendapatkan penegasan dari orang lain, tidak berarti sama sekali bahwa mereka
semua menolak Khabar Ahâd.
Hanya saja, memang dalam momen yang amat jarang,
mereka sangat ekstra hati-hati di dalam menerima informasi.
Oleh karena itu,
kami tegaskan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) memberikan informasi pasti
(yang bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat. Sebab, pendapat yang
menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) tidak memberikan informasi ilmu
secara mutlak justeru dapat memandegkan urusan dien dan dunia sekaligus. Ini
adalah bentuk pembatalan yang terang-terangan terhadap ijma' para shahabat,
Tabi'in dan para ulama setelah mereka.
- Rasulullah pernah mengirimkan para shahabatnya kepada para raja dan penguasa
untuk menyampaikan risalah Rabb-nya secara orang per-orang (Ahâd). Andaikata
khabar yang mereka bawa tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan
dan yaqin), tentu beliau tidak akan pernah mengirimkan mereka secara per-orangan
seperti itu, sebab jelas hal itu perbuatan sia-sia yang amat jauh dari
kepribadian seorang pembawa Risalah yang seharusnya bersih dari melakukan
kesia-siaan seperti itu.
- Ketika ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin saat mereka sedang
shalat shubuh (atau shalat lainnya) di Quba` bahwa kiblat telah dialihkan ke
arah Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar yang dibawanya dan meninggalkan
hujjah yang masih mereka pegang dan bersifat pasti, lalu mereka memutar ke
belakang mengarah ke Kiblat sebagai pemenuhan terhadap perintah Allah dan
Rasul-Nya yang disampaikan kepada mereka sekalipun hanya melalui jalur satu
orang.
Kenyataannya, Rasulullah tidak mengingkari sikap mereka terhadap hal
itu, bahkan sebaliknya, berterimakasih atas tindakan mereka tersebut.
B. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid) Di Dalam Masalah
'Aqidah Para pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa
Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat
keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka tersebut dengan kerangka berfikir
: tidak boleh berhujjah dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena masalah
'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di
dalam masalah 'Aqidah kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat
dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat
bukan hujjah. Jika tidak demikian, maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap
bathil, kecuali bila mengandung interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan.
Teori berfikir kaum Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum Ahli Kalam
(Mutakallimin) dari tokoh Asyâ'irah (Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-Ma'âliy
al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Râziy.
BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT INI
Untuk membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan
sebelumnya bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) yang dipertegas dengan Qarâ`in
(dalil-dalil penguat) dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan
dan yaqin) sebab alasan utama yang dijadikan pegangan oleh mereka yang menolak
tersebut hanyalah : Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak boleh dijadikan hujjah di
dalam masalah-masalah 'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat
Zhanniy (tidak pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.
ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA (MADZHAB SALAF) DI DALAM
MASALAH INI 1. Membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan
hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) merupakan
perbuatan BID'AH (mengada-ada) yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama
terdahulu (Salaf). Bahkan biografi dan karya-karya tulis mereka menunjukkan hal
yang amat kontras sama sekali dengan hal itu. Para shahabat, Tabi'in, Tabi'ut
Tabi'in dan Ahl al-Hadits dan as-Sunnah masih senantiasa berhujjah dengan
khabar-khabar seperti itu di dalam menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar,
Asmâ`, Hukum-hukum, dan lain sebagainya.
2. Adanya khabar-khabar
(hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam tentang
tindakan beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke pelbagai pelosok
negeri, demikian juga kepada para raja, kisra, kaisar dan selain mereka dalam
rangka mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu, hal pertama yang
disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah.
Diantara
indikasinya adalah sabda beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam kepada Mu'adz bin
Jabal ketika hendak mengutusnya ke negeri Yaman:
إنك تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه
عبادة الله -عز وجل- . وفي رواية : فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله ...""
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan
Ahli Kitab; maka hendaklah hal pertama yang engkau dakwahi/ajak mereka kepadanya
(adalah) agar beribadah kepada Allah 'Azza Wa Jalla."
Di dalam riwayat yang
lain,
"…Maka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa Tiada Ilah (Tuhan) -yang
haq disembah- selain Allah."
3. Membeda-bedakan antara masalah 'Aqidah
dan Hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) pada dasarnya
hanya berpijak pada kerangka berfikir bahwa: amal perbuatan tidak ada kaitannya
dengan 'Aqidah dan 'Aqidah tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum 'amaliyyah
(praktis).
Kedua statement ini adalah Bathil dan termasuk bid'ah (hal
yang diada-adakan) oleh Ahli Kalam. Islam justeru membawa hal yang amat kontras
dengan itu semua; Tidak ada hukum yang bersifat 'amaliy (praktis) kecuali ia
selalu berkaitan dengan dasar-dasar 'aqidah, yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia
telah mengutus Rasul-Nya agar menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan
kebenaran Rasul, amanahnya di dalam menyampaikan risalah kemudian beriman kepada
konsekuensi-konsekuensi dari hukum 'amaliy tersebut yang berupa pahala atau
dosa; kesengangan atau kesengsaraan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…"
Ayat diatas
menunjukkan hukum 'amaliy, kemudian Allah Ta'ala berfirman :
"…jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.s., an-Nûr :2)
Jadi, (dalam
penutup ayat ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum 'amaliy dengan 'aqidah beriman
kepada Allah dan Hari Akhir.
(Diambil dari buku Mashâdir al-Istidlâl
'Ala Masâ`il al-I'tiqâd , karya Syaikh 'Utsman 'Ali Hasan, Hal.42-48)
C. Sekilas Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy
Imam
asy-Syâfi'iy dijuluki oleh kalangan Ahlu al-Hadîts sebagai Nâshir as-Sunnah
(pembela as-Sunnah). Ini tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap
sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan
karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.
Dimasa hidup beliau,
timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritasnya selalu menyerang
as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, mengingkari
as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua, tidak menerima as-Sunnah kecuali bila
semakna dengan al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan
tidak menerima selain itu alias menolak HadIts Ahâd.
Beliau menyikapi
ketiga kelompok tersebut dengan tegas; kelompok pertama dan kedua tersebut
secara terang-terangan ingin merontokkan as-Sunnah dan tidak menganggapnya
sebagai salah satu sumber utama hukum Islam yang bersifat independen sementara
kelompok ketiga, tidak kurang dari itu.
Terhadap kelompok pertama,
beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan
begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya
menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari
al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya saja. Demikian pula terhadap
kelompok kedua, bahwa implikasinya sama saja dengan kelompok pertama.
Sedangkan terhadap kelompok ketiga, beliau membantah pendapat mereka
dengan argumentasi yang valid dan detail. Diantara bantahan tersebut adalah
sebagai berikut:
- Di dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang
jumlahnya tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir
tersebut urgen sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah
tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk
menolak mereka dengan alasan tidak dapat mempercayai dan mengakui berita yang
dibawa oleh mereka.
- Bahwa di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah
dan nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya
adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka
mutawatir alias Hadits Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri' (Allah Ta'ala)
tetap mewajibkan hal itu.
- Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam membolehkan orang yang mendengar darinya
untuk menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut meskipun hanya oleh satu
orang saja. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
"Mudah-mudahan
Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang (seorang hamba) yang mendengar
hadits dari kami lantas menghafalnya hingga menyampaikannya; (sebab) betapa
banyak orang yang membawa ilmu (hanya berilmu dan tidak lebih ilmunya namun dia
menghafal dan menyampaikannya) kepada orang yang lebih berilmu darinya dan
betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi dia tidak berilmu (namun
mendapatkan pahala menyampaikannya). (H.R.Abu Daud)
- Para shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah secara individu-individu
dan tidak mensyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.
Demikianlah diantara bantahan beliau di dalam menegaskan wajibnya
menerima hadits Ahâd. (Penggalan dari materi Buletin an-Nur, dengan tema: Imam
asy-Syafi'iy; pembelaannya terhadap as-Sunnah)
D. Fatwa Ulama
Kontemporer Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn ditanya tentang
orang yang menganggap hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam
masalah 'aqidah menjawab:
"Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan
bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah
dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan
masalah 'aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah
bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang
tidak tepat pula. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa tinjauan:
- Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak
dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd
(individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in
(dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima
secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin
al-Khaththab radhiallaahu 'anhu :
"Sesungguhnya semua pekerjaan itu
tergantung kepada niat"
Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita
tahu bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement
seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu
Hajar, dan lainya.
- Bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengirimkan individu-individu (orang
per-orang) guna mengajarkan permasalahan 'aqidah yang prinsipil (Ushûl
al-'Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad
Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah
yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu'adz bin Jabal ke
negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak
dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima.
- Bila kita mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada
khabar Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah
(hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga
dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-'Amaliyyah selalu disertai oleh
suatu 'aqidah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila
pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah tidak dapat
juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukum-hukum
syara' yang tidak berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam ini harus
ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak
dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak ada
bedanya.
- Bahwa Allah Ta'ala memerintahkan orang yang jahil/tidak tahu agar merujuk
kepada pendapat Ahl al-'Ilm (ulama) terhadap salah satu permasalahan 'aqidah
yang maha penting, yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami
tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu
kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui". (Q.,S. 16/an-Nahl: 43)… dan hal ini mencakup pertanyaan
yang diajukan oleh individu atau kelompok.
Kesimpulannya:
Bahwa bila ada qarâ-in yang mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid,
maka ia dapat menginformasikan ilmu pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) dan
dapat dijadikan landasan dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah dan 'Ilmiyyah. Sedangkan
orang yang membedakan antara kedua hukum ini tidak memiliki dalil untuk
membedakannya, bila dia menisbatkan pendapat ini kepada salah seorang imam
(ulama mazhab yang empat, misalnya -red) tentang adanya pembedaan antara
keduanya, maka dia harus menguatkan statementnya itu dengan sanad (landasan)
yang shahîh dari imam tersebut, kemudian juga menjelaskan landasan yang
dijadikannya sebagai dalil. (Fahd bin Nâshir bin Ibrâhîm al-Sulaimân (editor),
Majmû' Fatâwa wa Rasâil Fadlîlah asy- Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn,
(Riyadl: Dâr at-Tsurayya, 1414 H/1994 M), Cet. II, hal. 31-32)