Hadis riwayat
Aisyah ra., istri Nabi saw. ia berkata:
Apabila Rasulullah saw. hendak
keluar dalam suatu perjalanan selalu mengadakan undian di antara para istri
beliau dan siapa di antara mereka yang keluar undiannya, maka Rasulullah saw.
akan berangkat bersamanya. Aisyah berkata: Lalu Rasulullah saw. mengundi di
antara kami untuk menentukan siapa yang akan ikut dalam perang dan ternyata
keluarlah undianku sehingga aku pun berangkat bersama Rasulullah saw. Peristiwa
itu terjadi setelah diturunkan ayat hijab (Al-Ahzab ayat 53) di mana aku dibawa
dalam sekedup dan ditempatkan di sana selama perjalanan kami. Pada suatu malam
ketika Rasulullah saw. selesai berperang lalu pulang dan kami telah mendekati
Madinah, beliau memberikan aba-aba untuk berangkat. Aku pun segera bangkit
setelah mendengar mereka mengumumkan keberangkatan lalu berjalan sampai jauh
meninggalkan pasukan tentara. Seusai melaksanakan hajat, aku hendak langsung
menghampiri unta tungganganku namun saat meraba dada, ternyata kalungku yang
terbuat dari mutiara Zifar putus. Aku pun kembali untuk mencari kalungku
sehingga tertahan karena pencarian itu. Sementara orang-orang yang bertugas
membawaku mereka telah mengangkat sekedup itu dan meletakkannya ke atas punggung
untaku yang biasa aku tunggangi karena mereka mengira aku telah berada di
dalamnya. Ia menambahkan: Kaum wanita pada waktu itu memang bertubuh ringan dan
langsing tidak banyak ditutupi daging karena mereka hanya mengkomsumsi makanan
dalam jumlah sedikit sehingga orang-orang itu tidak merasakan beratnya sekedup
ketika mereka mengangkatnya ke atas unta. Apalagi ketika itu aku anak perempuan
yang masih belia. Mereka pun segera menggerakkan unta itu dan berangkat. Aku
baru menemukan kalung itu setelah pasukan tentara berlalu. Kemudian aku
mendatangi tempat perhentian mereka, namun tak ada seorang pun di sana. Lalu aku
menuju ke tempat yang semula dengan harapan mereka akan merasa kehilangan dan
kembali menjemputku. Ketika aku sedang duduk di tempatku rasa kantuk
mengalahkanku sehingga aku pun tertidur. Ternyata ada Shafwan bin Muaththal
As-Sulami Az-Dzakwani yang tertinggal di belakang pasukan sehingga baru dapat
berangkat pada malam hari dan keesokan paginya ia sampai di tempatku. Dia
melihat bayangan hitam seperti seorang yang sedang tidur lalu ia mendatangi dan
langsung mengenali ketika melihatku karena ia pernah melihatku sebelum
diwajibkan hijab. Aku terbangun oleh ucapannya, "inna lillaahi wa inna ilaihi
raji`uun" pada saat dia mengenaliku. Aku segera menutupi wajahku dengan kerudung
dan demi Allah, dia sama sekali tidak mengajakku bicara sepatah kata pun dan aku
pun tidak mendengar satu kata pun darinya selain ucapan "inna lillahi wa inna
ilaihi raji`uun". Kemudian ia menderumkan untanya dan memijak kakinya, sehingga
aku dapat menaikinya. Dan ia pun berangkat sambil menuntun unta yang aku
tunggangi hingga kami dapat menyusul pasukan yang sedang berteduh di tengah hari
yang sangat panas. Maka celakalah orang-orang yang telah menuduhku di mana yang
paling besar berperan ialah Abdullah bin Ubay bin Salul. Sampai kami tiba di
Madinah dan aku pun segera menderita sakit setiba di sana selama sebulan.
Sementara orang-orang ramai membicarakan tuduhan para pembuat berita bohong
padahal aku sendiri tidak mengetahui sedikit pun tentang hal itu. Yang membuatku
gelisah selama sakit adalah bahwa aku tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah
saw. yang biasanya kurasakan ketika aku sakit. Rasulullah saw. hanya masuk
menemuiku, mengucapkan salam, kemudian bertanya: Bagaimana keadaanmu? Hal itu
membuatku gelisah, tetapi aku tidak merasakan adanya keburukan, sampai ketika
aku keluar setelah sembuh bersama Ummu Misthah ke tempat pembuangan air besar di
mana kami hanya keluar ke sana pada malam hari sebelum kami membangun tempat
membuang kotoran (WC) di dekat rumah-rumah kami. Kebiasaan kami sama seperti
orang-orang Arab dahulu dalam buang air. Kami merasa terganggu dengan
tempat-tempat itu bila berada di dekat rumah kami. Aku pun berangkat dengan Ummu
Misthah, seorang anak perempuan Abu Ruhum bin Muthalib bin Abdi Manaf dan ibunya
adalah putri Shakher bin Amir, bibi Abu Bakar Sidik. Putranya bernama Misthah
bin Utsatsah bin Abbad bin Muththalib. Aku dan putri Abu Ruhum langsung menuju
ke arah rumahku sesudah selesai buang air. Tiba-tiba Ummu Misthah terpeleset
dalam pakaian yang menutupi tubuhnya sehingga terucaplah dari mulutnya kalimat:
Celakalah Misthah! Aku berkata kepadanya: Alangkah buruknya apa yang kau
ucapkan! Apakah engkau memaki orang yang telah ikut serta dalam perang Badar?
Ummu Misthah berkata: Wahai junjunganku, tidakkah engkau mendengar apa yang dia
katakan? Aku menjawab: Memangnya apa yang dia katakan? Ummu Misthah lalu
menceritakan kepadaku tuduhan para pembuat cerita bohong sehingga penyakitku
semakin bertambah parah. Ketika aku kembali ke rumah, Rasulullah saw. masuk
menemuiku, beliau mengucapkan salam kemudian bertanya: Bagaimana keadaanmu? Aku
berkata: Apakah engkau mengizinkan aku mendatangi kedua orang tuaku? Pada saat
itu aku ingin meyakinkan kabar itu dari kedua orang tuaku. Begitu Rasulullah
saw. memberiku izin, aku pun segera pergi ke rumah orang tuaku. Sesampai di
sana, aku bertanya kepada ibu: Wahai ibuku, apakah yang dikatakan oleh
orang-orang mengenai diriku? Ibu menjawab: Wahai anakku, tenanglah! Demi Allah,
jarang sekali ada wanita cantik yang sangat dicintai suaminya dan mempunyai
beberapa madu, kecuali pasti banyak berita kotor dilontarkan kepadanya. Aku
berkata: Maha suci Allah! Apakah setega itu orang-orang membicarakanku? Aku
menangis malam itu sampai pagi air mataku tidak berhenti mengalir dan aku tidak
dapat tidur dengan nyenyak. Pada pagi harinya, aku masih saja menangis. Beberapa
waktu kemudian Rasulullah saw. memanggil Ali bin Abu Thalib dan Usamah bin Zaid
untuk membicarakan perceraian dengan istrinya ketika wahyu tidak kunjung turun.
Usamah bin Zaid memberikan pertimbangan kepada Rasulullah saw. sesuai dengan
yang ia ketahui tentang kebersihan istrinya (dari tuduhan) dan berdasarkan
kecintaan dalam dirinya yang ia ketahui terhadap keluarga Nabi saw. Ia berkata:
Ya Rasulullah, mereka adalah keluargamu dan kami tidak mengetahui dari mereka
kecuali kebaikan. Sedangkan Ali bin Abu Thalib berkata: Semoga Allah tidak
menyesakkan hatimu karena perkara ini, banyak wanita selain dia (Aisyah). Jika
engkau bertanya kepada budak perempuan itu (pembantu rumah tangga Aisyah) tentu
dia akan memberimu keterangan yang benar. Lalu Rasulullah saw. memanggil Barirah
(jariyah yang dimaksud) dan bertanya: Hai Barirah! Apakah engkau pernah melihat
sesuatu yang membuatmu ragu tentang Aisyah? Barirah menjawab: Demi Zat yang
telah mengutusmu membawa kebenaran! Tidak ada perkara buruk yang aku lihat dari
dirinya kecuali bahwa Aisyah adalah seorang perempuan yang masih muda belia,
yang biasa tidur di samping adonan roti keluarga lalu datanglah hewan-hewan
ternak memakani adonan itu. Kemudian Rasulullah saw. berdiri di atas mimbar
meminta bukti dari Abdullah bin Ubay bin Salul. Di atas mimbar itu, Rasulullah
saw. bersabda: Wahai kaum muslimin, siapakah yang mau menolongku dari seorang
yang telah sampai hati melukai hati keluarga? Demi Allah! Yang kuketahui pada
keluargaku hanyalah kebaikan. Orang-orang juga telah menyebut-nyebut seorang
lelaki yang kuketahui baik. Dia tidak pernah masuk menemui keluargaku (istriku)
kecuali bersamaku. Maka berdirilah Saad bin Muaz Al-Anshari seraya berkata: Aku
yang akan menolongmu dari orang itu, wahai Rasulullah. Jika dia dari golongan
Aus, aku akan memenggal lehernya dan kalau dia termasuk saudara kami dari
golongan Khazraj, maka engkau dapat memerintahkanku dan aku akan melaksanakan
perintahmu. Mendengar itu, berdirilah Saad bin Ubadah. Dia adalah pemimpin
golongan Khazraj dan seorang lelaki yang baik tetapi amarahnya bangkit karena
rasa fanatik golongan. Dia berkata tertuju kepada Saad bin Muaz: Engkau salah!
Demi Allah, engkau tidak akan membunuhnya dan tidak akan mampu untuk
membunuhnya! Lalu Usaid bin Hudhair saudara sepupu Saad bin Muaz, berdiri dan
berkata kepada Saad bin Ubadah: Engkau salah! Demi Allah, kami pasti akan
membunuhnya! Engkau adalah orang munafik yang berdebat untuk membela orang-orang
munafik. Bangkitlah amarah kedua golongan yaitu Aus dan Khazraj, sehingga mereka
hampir saling berbaku-hantam dan Rasulullah saw. masih berdiri di atas mimbar
terus berusaha meredahkan emosi mereka mereka hingga mereka diam dan Rasulullah
saw. diam. Sementara itu, aku menangis sepanjang hari, air mataku tidak berhenti
mengalir dan aku pun tidak merasa nyenyak dalam tidur. Aku masih saja menangis
pada malam berikutnya, air mataku tidak berhenti mengalir dan juga tidak merasa
enak tidur. Kedua orang tuaku mengira bahwa tangisku itu akan membelah
jantungku. Ketika kedua orang tuaku sedang duduk di sisiku yang masih menangis,
datanglah seorang perempuan Ansar meminta izin menemuiku. Aku memberinya izin
lalu dia pun duduk sambil menangis. Pada saat kami sedang dalam keadaan
demikian, Rasulullah saw. masuk. Beliau memberi salam, lalu duduk. Beliau belum
pernah duduk di dekatku sejak ada tuduhan yang bukan-bukan kepadaku, padahal
sebulan telah berlalu tanpa turun wahyu kepada beliau mengenai persoalanku.
Rasulullah saw. mengucap syahadat pada waktu duduk kemudian bersabda:
Selanjutnya. Hai Aisyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku bermacam tuduhan
tentang dirimu. Jika engkau memang bersih, Allah pasti akan membersihkan dirimu
dari tuduhan-tuduhan itu. Tetapi kalau engkau memang telah berbuat dosa, maka
mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Sebab, bila seorang
hamba mengakui dosanya kemudian bertobat, tentu Allah akan menerima tobatnya.
Ketika Rasulullah saw. selesai berbicara, air mataku pun habis sehingga aku
tidak merasakan satu tetespun terjatuh. Lalu aku berkata kepada ayahku: Jawablah
untukku kepada Rasulullah saw. mengenai apa yang beliau katakan. Ayahku
menyahut: Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada
Rasulullah saw. Kemudian aku berkata kepada ibuku: Jawablah untukku kepada
Rasulullah saw.! Ibuku juga berkata: Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus
kukatakan kepada Rasulullah saw. Maka aku pun berkata: Aku adalah seorang
perempuan yang masih muda belia. Aku tidak banyak membaca Alquran. Demi Allah,
aku tahu bahwa kalian telah mendengar semua ini, hingga masuk ke hati kalian,
bahkan kalian mempercayainya. Jika aku katakan kepada kalian, bahwa aku bersih
dan Allah pun tahu bahwa aku bersih, mungkin kalian tidak juga mempercayaiku.
Dan jika aku mengakui hal itu di hadapan kalian, sedangkan Allah mengetahui
bahwa aku bersih, tentu kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak
menemukan perumpamaan yang tepat bagiku dan bagi kalian, kecuali sebagaimana
dikatakan ayah Nabi Yusuf: Kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Dan Allah
sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan.
Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku. Demi Allah, pada saat itu
aku yakin diriku bersih dan Allah akan menunjukkan kebersihanku. Tetapi, sungguh
aku tidak berharap akan diturunkan wahyu tentang persoalanku. Aku kira
persoalanku terlalu remeh untuk dibicarakan Allah Taala dengan wahyu yang
diturunkan. Namun, aku berharap Rasulullah saw. akan bermimpi bahwa Allah
membersihkan diriku dari fitnah itu. Rasulullah saw. belum lagi meninggalkan
tempat duduknya dan tak seorang pun dari isi rumah ada yang keluar, ketika Allah
Taala menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Tampak Rasulullah saw. merasa kepayahan
seperti biasanya bila beliau menerima wahyu, hingga bertetesan keringat beliau
bagaikan mutiara di musim dingin, karena beratnya firman yang diturunkan kepada
beliau. Ketika keadaan yang demikian telah hilang dari Rasulullah saw. (wahyu
telah selesai turun), maka sambil tertawa perkataan yang pertama kali beliau
ucapkan adalah: Bergembiralah, wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah
membersihkan dirimu dari tuduhan. Lalu ibuku berkata kepadaku: Bangunlah!
Sambutlah beliau! Aku menjawab: Demi Allah, aku tidak akan bangun menyambut
beliau. Aku hanya akan memuji syukur kepada Allah. Dialah yang telah menurunkan
ayat Alquran yang menyatakan kebersihanku. Allah Taala menurunkan ayat:
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golonganmu
juga, dan sepuluh ayat berikutnya. Allah menurunkan ayat-ayat tersebut yang
menyatakan kebersihanku. Abu Bakar yang semula selalu memberikan nafkah kepada
Misthah karena kekerabatan dan kemiskinannya, pada saat itu mengatakan: Demi
Allah, aku tidak akan lagi memberikan nafkah kepadanya sedikitpun selamanya,
sesudah apa yang dia katakan terhadap Aisyah. Sebagai teguran atas ucapan itu,
Allah menurunkan ayat selanjutnya ayat: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan di antara kalian, bersumpah bahwa mereka tidak akan
memberi bantuan kepada kaum kerabat mereka, orang-orang miskin sampai pada
firman-Nya: Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian. (Hibban bin
Musa berkata: Abdullah bin Mubarak berkata: Ini adalah ayat yang paling aku
harapkan dalam Kitab Allah). Maka berkatalah Abu Bakar: Demi Allah, tentu saja
aku sangat menginginkan ampunan Allah. Selanjutnya dia (Abu Bakar) kembali
memberikan nafkah kepada Misthah seperti sediakala dan berkata: Aku tidak akan
berhenti memberikannya nafkah untuk selamanya. Aisyah meneruskan: Rasulullah
saw. pernah bertanya kepada Zainab binti Jahsy, istri Nabi saw. tentang
persoalanku: Apa yang kamu ketahui? Atau apa pendapatmu? Zainab menjawab: Wahai
Rasulullah, aku selalu menjaga pendengaran dan penglihatanku (dari hal-hal yang
tidak layak). Demi Allah, yang kuketahui hanyalah kebaikan. Aisyah berkata:
Padahal dialah yang menyaingi kecantikanku dari antara para istri Nabi saw.
Allah menganugerahinya dengan sikap warak (menjauhkan diri dari maksiat dan
perkara meragukan) lalu mulailah saudara perempuannya, yaitu Hamnah binti Jahsy,
membelanya dengan rasa fanatik (yakni ikut menyebarkan apa yang dikatakan oleh
pembuat cerita bohong). Maka celakalah ia bersama orang-orang yang celaka.
(Shahih Muslim No.4974)