Hadits Shahih tidak
mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an
Seseorang bertanya kepada Syeikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani:
"Ada sebagian orang yang berkata bahwa apabila
terdapat sebuah hadits yang bertentangan dengan ayat Al-Qur'an maka hadits
tersebut harus kita tolak walaupun derajatnya shahih. Mereka mencontohkan sebuah
hadits :"Sesungguhnya mayit akan disiksa disebabkan tangisan dari keluarganya."
Mereka berkata bahwa hadits tersebut ditolak oleh Aisyah Radliyallahu 'anha
dengan sebuah ayat dalam Al-Qur'an surat Fathir ayat 18: "Seseorang tidak
akan memikul dosa orang lain." Bagaimana kita membantah pendapat mereka ini
?
Jawaban Syeikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani:
Mengatakan ada
hadits shahih yang bertentangan dengan Al-Qur'an adalah kesalahan yang sangat
fatal. Sebab tidak mungkin Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa
sallam yang diutus oleh Allah memberikan
keterangan yang bertentangan dengan keterangan Allah yang mengutus beliau
(bahkan sangat tidak mungkin hal itu terjadi).
Dari segi riwayat/sanad, hadits di atas sudah
tidak terbantahkan lagi ke-shahih-annya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu
Umar, Umar bin Khattab dan Mughirah bin Syu'bah, yang terdapat dalam kitab
hadits shahih (Bukhari dan Muslim).
Adapun dari segi tafsir, hadits tersebut sudah
ditafsirkan oleh para ulama dengan dua tafsiran sebagai berikut:
-
Hadits tersebut berlaku bagi mayit yang ketika
hidupnya dia mengetahui bahwa keluarganya (anak dan istrinya) pasti akan
meronta-ronta (nihayah) apabila dia mati. Kemudian dia tidak mau menasihati
keluarganya dan tidak berwasiat agar mereka tidak menangisi kematiannya. Orang
seperti inilah yang mayitnya akan disiksa apabila ditangisi oleh keluarganya.
Adapun orang yang sudah menasihati keluarganya dan berpesan agar tidak
berbuat nihayah, tapi kemudian ketika dia mati keluarganya masih tetap meratapi
dan menangisinya (dengan berlebihan), maka orang-orang seperti ini tidak terkena
ancaman dari hadits tadi.
Dalam hadits tersebut, kata al-mayyit
menggunakan hurul alif lam (isim ma'rifat) yang dalam kaiah bahasa Arab kalau
ada isim (kata benda) yang di bagian depannya memakai huruf alif lam, maka benda
tersebut tidak bersifat umum (bukan arti dari benda yang dimaksud). Oleh karena
itu, kata "mayit" dalam hadits di atas adalah tidak semua mayit, tapi mayit
tertentu (khusus). Yaitu mayit orang yang sewaktu hidupnya tidak mau memberi
nasihat kepada keluarganya tentang haramnya nihayah.
Demikianlah, ketika
kita memahami tafsir hadits di atas, maka kini jelaslah bagi kita bahwa hadits
shahih tersebut tidak bertentangan dengan bunyi ayat:"Seseorang tidak akan
memikul dosa orang lain."
Karena pada hakikatnya siksaan yang dia terima
adalah akibat kesalahan/dosa dia sendiri yaitu tidak mau menasihati dan
berdakwah kepada keluarga. Inilah penafsiran dari para ulama terkenal, di
antaranya Imam An-Nawawi.
-
Adapun tafsiran kedua adalah tafsiran yang
dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah di beberapa tulisan
beliau bahwa yang dimaksud dengan azab (siksaan) dalam hadits tersebut adalah
bukan adzab kubur atau azab akhirat melainkan hanyalah rasa sedih dan duka cita.
Yaitu rasa sedih dan duka ketika mayit tersebut mendengar ratap tangis dari
keluarganya.
Tapi menurut saya (Syaikh Al-Albani), tafsiran seperti itu
bertentangan dengan beberapa dalil. Di antaranya adalah hadits shahih riwayat
Mughirah bin Syu'bah: "Sesungguhnya mayit itu akan disiksa pada hari kiamat
disebabkan tangisan dari keluarganya."
Jadi menurut hadits ini, siksa
tersebut bukan di alam kubur tapi di akhirat, dan siksaan di akhirat maksudnya
adalah siksa neraka, kecuali apabila dia diampuni oleh Allah, karena semua dosa
pasti ada kemungkinan diampuni oleh Allah kecuali dosa syirik.Firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa syirik
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya." (QS. An-Nisa' : 48).
Banyak hadits-hadits shahih dan beberapa ayat
Al-Qur'an yang mengatakan bahwa seorang mayit itu tidak akan mendengar suara
orang yang masih hidup kecuali saat tertentu saja. Di antaranya (saat-saat
tertentu itu) adalah hadits riwayat Bukhari dari shahabat Anas bin Malik
Radliyallahu 'anhu:"Sesungguhnya seorang hamba yang meninggal dan baru saja
dikubur, dia mendengar bunyi terompah (sandal) yang dipakai oleh orang-orang
yang mengantarnya ketika mereka sedang beranjak pulang, sampai datang kepada dia
dua malaikat." Kapan seorang mayit itu bisa mendengar suara sandal orang yang
masih hidup? Hadits tersebut menegaskan bahwa mayit tersebut hanya bisa
mendengar suara sandal ketika baru saja dikubur, yaitu ketika ruhnya baru saja
dikembalikan ke badannya dan dia didudukkan oleh dua malaikat. Jadi, tidak
setiap hari mayit itu mendengar suara sandal orang-orang yang lalu lalang di
atas kuburannya sampai hari kiamat. Sama sekali tidak !
Seandainya
penafsiran Ibnu Taimiyyah di atas benar, bahwa seorang mayit itu bisa mendengar
tangisan orang yang masih hidup, berarti mayit tersebut bisa merasakan dan
mendengar apa yang terjadi di sekelilingnya, baik ketika dia sedang diusung atau
dia dimakamkan, sementara tidak ada satupun dalil yang mendukung pendapat
seperti ini.
Hadits selanjutnya adalah: "Sesungguhnya Allah mempunyai
malaikat-malaikat yang bertugas menjelajah di seluruh permukaan bumi untuk
menyampaikan kepadaku salam yang diucapkan oleh umatku."
Seandainya mayit itu
bisa mendengar, tentu mayit Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam lebih
dimungkinkan bisa mendengar. Mayit beliau jauh lebih mulia dibandingkan mayit
siapapun, termasuk mayit para nabi dan rasul. Seandainya mayit beliau Shalallahu
'alaihi wa sallam bisa mendengar, tentu beliau mendengar salam dari umatnya yang
ditujukan kepada beliau dan tidak perlu ada malaikat-malaikat khusus yang
ditugasi oleh Allah untuk menyampaikan salam yang ditujukan kepada beliau.
Dari sini kita bisa mengetahui betapa
salah dan sesatnya orang yang ber-istighatsah (minta pertolongan) kepada orang
yang sudah meninggal, siapapun dia. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam
adalah orang yang paling mulia di sisi Allah dan beliau tidak mampu mendengar
suara orang yang masih hidup, apalagi selain beliau. Hal ini secara
tegas diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur'an surat Al-A'raf ayat 194:
"Sesungguhnya yang kalian seru selain Allah adalah hamba juga seperti kalian."
Juga di dalam surat Fathir ayat 14: "Jika kalian berdo'a kepada mereka, maka
mereka tidak akan mendengar do'a kalian."
Demikianlah, secara umum mayit
yang ada di dalam kubur tidak bisa mendengar apa-apa kecuali saat-saat tertentu
saja. Sebagaimana yang sudah diterangkan dalam beberapa ayat dan hadits di
atas.
(Dikutip dari "Kaifa yajibu 'alaina annufasirral qur'anil
karim")